
Kegelapan Zaman di Mana Tulisan Adalah Kuasa
Pada abad ke-15 di Joseon, tulisan adalah kuasa. Hanja bukan sekadar alat penulisan, tetapi benteng kukuh yang menyokong kelas bangsawan. Hanya mereka yang menguasai hanja yang sukar dapat lulus ujian negara dan memegang kuasa, serta menafsirkan undang-undang yang rumit untuk menguasai orang lain. Rakyat yang buta huruf tidak dapat mengadu walaupun mengalami ketidakadilan, dan hanya dapat melihat dengan ketakutan pada pengumuman di dinding pejabat yang mungkin menentukan hidup dan mati mereka. Pengetahuan pada masa itu bukan untuk dikongsi, tetapi alat monopoli dan pengecualian yang ketat.
Bagi golongan penguasa, penyebaran pengetahuan bermakna kehilangan hak istimewa. Di sebalik penentangan sengit oleh sarjana seperti Choi Man-ri terhadap penciptaan Hunminjeongeum, terdapat kesombongan "Mengapa berkongsi pengetahuan dengan orang biasa?" dan ketakutan asas bahawa tempat suci mereka mungkin dicerobohi. Mereka mengkritik dengan keras bahawa ia "bertentangan dengan prinsip melayani China" atau "perbuatan orang barbar", tetapi pada dasarnya, ia adalah ketakutan terhadap keruntuhan tatanan kelas. Rakyat yang tahu membaca tidak lagi patuh secara membuta tuli.
Batasan Idu dan Pemutusan Komunikasi
Sudah tentu, usaha untuk menulis bahasa kita tidak pernah tiada. Idu, Hyangchal, dan Gugyeol yang berkembang sejak zaman Silla adalah usaha nenek moyang kita untuk menulis bahasa kita dengan meminjam bunyi dan makna hanja. Namun, ini bukan penyelesaian asas. Seperti yang dinyatakan dalam petisyen Choi Man-ri, Idu mempunyai batasan yang jelas "menulis bahasa semula jadi dengan hanja, jadi penulisan berbeza mengikut daerah dan dialek".
Idu bukanlah tulisan yang lengkap, tetapi hanya alat bantu 'separuh' yang hanya dapat diakses dengan melampaui tembok besar hanja. Untuk mempelajari Idu, seseorang masih perlu mengetahui ribuan hanja, jadi bagi rakyat biasa, ia seperti kueh di langit. Lebih-lebih lagi, Idu adalah gaya penulisan yang kaku untuk urusan pentadbiran, jadi ia terlalu kasar dan sempit untuk menampung kehidupan dan emosi rakyat, serta lagu dan keluhan yang keluar dari mulut mereka. Ketidaksempurnaan alat komunikasi bermakna pemutusan hubungan sosial, dan menyebabkan 'arteriosklerosis komunikasi' di mana suara rakyat tidak sampai kepada raja.
Cinta Rakyat, Bukan Slogan tetapi Polisi... Eksperimen Kebajikan Revolusioner
Kita memuji Sejong sebagai 'raja besar' bukan kerana dia hanya memperluas wilayah atau membina istana yang megah. Di antara raja-raja sepanjang sejarah, jarang ada pemimpin yang begitu berfokus pada 'manusia' seperti Sejong. Semangat cintanya kepada rakyat bukanlah nilai abstrak Konfusianisme, tetapi diwujudkan dalam kebijakan sosial radikal yang bertujuan untuk memperbaiki kehidupan rakyat secara konkrit. Salah satu contoh terbaik yang menunjukkan latar belakang ideologi penciptaan Hunminjeongeum adalah sistem 'cuti bersalin untuk hamba'.
Pada masa itu, hamba dianggap sebagai 'binatang yang berbicara' dan dimasukkan dalam senarai harta benda. Namun, pandangan Sejong berbeza. Pada tahun 1426 (tahun ke-8 Sejong), dia memerintahkan agar hamba wanita yang bekerja di pejabat kerajaan diberi cuti 100 hari setelah melahirkan. Namun, perhatian Sejong tidak berhenti di situ. Pada tahun 1434 (tahun ke-16 Sejong), dia menambah 30 hari cuti sebelum melahirkan, dengan alasan "ada kasus di mana ibu meninggal karena tidak sempat pulih setelah melahirkan dan segera kembali bekerja". Total 130 hari cuti. Ini adalah tempoh yang lebih panjang daripada cuti bersalin yang dijamin oleh Undang-Undang Standard Buruh Korea Selatan moden (90 hari).
Yang lebih mengejutkan adalah perhatian terhadap suami. Sejong menyedari perlunya seseorang untuk merawat ibu, dan memberikan cuti 30 hari kepada suami hamba untuk merawat isterinya. Tidak ada catatan di Eropah atau China, atau mana-mana peradaban lain pada abad ke-15 yang memberikan cuti bersalin berbayar kepada suami hamba. Ini menunjukkan bahawa Sejong melihat hamba bukan sekadar tenaga kerja, tetapi sebagai 'anggota keluarga' dengan hak asasi manusia yang semula jadi. Hunminjeongeum adalah lanjutan dari pemikiran ini. Seperti memberikan cuti kepada hamba untuk melindungi 'kehidupan biologis' mereka, dia memberikan tulisan untuk melindungi 'kehidupan sosial' mereka.
Bertanya kepada 170,000 Orang... Referendum Pertama Joseon
Cara komunikasi Sejong bukanlah penyampaian satu arah (Top-down). Dia tidak takut untuk bertanya kepada rakyat ketika membuat keputusan penting negara. Kisah ketika menetapkan undang-undang pajak tanah 'Gongbeop' membuktikan kepemimpinan demokratiknya.
Pada tahun 1430 (tahun ke-12 Sejong), ketika Kementerian Kewangan mengusulkan reformasi undang-undang pajak, Sejong mengadakan survei pendapat selama lima bulan di seluruh negara, bertanya kepada rakyat tentang setuju atau tidak setuju. Dari pegawai hingga petani desa, total 172,806 orang berpartisipasi dalam pemungutan suara ini. Mengingat populasi Joseon pada masa itu sekitar 690,000 orang, ini adalah 'referendum' yang melibatkan hampir semua lelaki dewasa. Hasilnya adalah 98,657 orang (57.1%) setuju, dan 74,149 orang (42.9%) tidak setuju.
Yang menarik adalah reaksi berdasarkan daerah. Di Gyeongsang-do dan Jeolla-do yang memiliki tanah subur, persetujuan sangat dominan, tetapi di Pyeongan-do dan Hamgil-do yang tanahnya tandus, banyak yang menolak. Sejong tidak memaksakan keputusan berdasarkan suara mayoritas. Dia mempertimbangkan keadaan daerah yang menolak, dan menghabiskan beberapa tahun lagi untuk merumuskan alternatif yang rasional (Jeonbun 6-deungbeop, Yeonbun 9-deungbeop) yang menyesuaikan pajak berdasarkan kesuburan tanah dan hasil panen tahun itu. Bagi raja yang mendengarkan suara rakyat dengan begitu teliti, ketiadaan 'wadah' untuk menampung suara mereka adalah kontradiksi dan penderitaan yang tak tertahankan.
Keraguan Malam yang Mendalam, Rahasia Pemerintahan Sendiri
Sejong menjaga proses penciptaan Hunminjeongeum dengan sangat rahasia. Dalam catatan sejarah, hampir tidak ada catatan tentang proses diskusi penciptaan Hunminjeongeum, dan tiba-tiba muncul pada bulan Desember 1443 dengan catatan singkat "Raja sendiri menciptakan 28 huruf". Ini menunjukkan bahwa penelitian dilakukan secara diam-diam oleh raja dan keluarga kerajaan tanpa sepengetahuan para sarjana Jiphyeonjeon, mengantisipasi penolakan dari golongan bangsawan yang berkuasa. Pada akhir masa pemerintahannya, Sejong menderita penyakit mata yang parah dan komplikasi diabetes. Meskipun penglihatannya buruk, dia begadang untuk menciptakan huruf untuk rakyat. Hunminjeongeum bukanlah hasil inspirasi seorang jenius, tetapi hasil perjuangan pengorbanan seorang raja yang sakit yang mengorbankan hidupnya.

Reka Bentuk Ergonomik... Meniru Organ Ucapan
Hunminjeongeum diciptakan berdasarkan prinsip 'meniru organ ucapan', yang jarang ditemukan dalam sejarah tulisan dunia. Berbeda dengan kebanyakan tulisan yang meniru bentuk benda (piktogram) atau dimodifikasi dari tulisan yang ada, Hangeul adalah 'peta suara' yang memvisualisasikan mekanisme biologis manusia dalam menghasilkan suara. 『Hunminjeongeum Haerye』 menjelaskan prinsip ilmiah ini dengan jelas.
Lima huruf dasar konsonan awal menggambarkan struktur mulut saat mengucapkan bunyi.
Guttural (ㄱ): Bentuk akar lidah yang menutup tenggorokan (bunyi awal dari gun). Ini menangkap posisi artikulasi velar dengan tepat.
Dental (ㄴ): Bentuk lidah yang menempel pada gusi atas (bunyi awal dari na). Ini menggambarkan ujung lidah yang menyentuh alveolar (gusi).
Labial (ㅁ): Bentuk mulut (bibir) (bunyi awal dari mi). Ini meniru bentuk bibir yang tertutup dan terbuka.
Alveolar (ㅅ): Bentuk gigi (bunyi awal dari sin). Ini mencerminkan karakteristik suara yang keluar melalui celah gigi.
Glottal (ㅇ): Bentuk tenggorokan (bunyi awal dari yok). Ini menggambarkan suara yang bergema melalui tenggorokan.
Berdasarkan lima huruf dasar ini, prinsip 'penambahan garis' diterapkan untuk menunjukkan intensitas suara. Menambah garis pada 'ㄱ' menghasilkan 'ㅋ' yang lebih kuat, menambah garis pada 'ㄴ' menghasilkan 'ㄷ', dan menambah lagi menghasilkan 'ㅌ'. Ini membuat suara dari kelompok yang sama (dengan posisi artikulasi yang sama) memiliki kesamaan bentuk, yang membuat para ahli bahasa modern kagum dengan sistem yang teratur ini. Orang yang belajar hanya perlu menguasai lima huruf dasar untuk dapat menebak huruf lainnya secara intuitif.
Heaven, Earth, and Human... Vokal yang Menggambarkan Alam Semesta
Jika konsonan meniru tubuh manusia (organ ucapan), vokal menggambarkan alam semesta tempat manusia hidup. Sejong merancang vokal dengan memvisualisasikan tiga elemen kosmologi Neo-Konfusianisme: langit (天), bumi (地), dan manusia (人).
Heaven (·): Bentuk bulat langit (dasar vokal positif)
Earth (ㅡ): Bentuk datar bumi (dasar vokal negatif)
Human (ㅣ): Bentuk manusia yang berdiri di atas bumi (dasar vokal netral)
Dengan menggabungkan (menggunakan bersama) tiga simbol sederhana ini, banyak vokal dapat dihasilkan. Misalnya, '·' dan 'ㅡ' bergabung menjadi 'ㅗ', dan '·' dan 'ㅣ' bergabung menjadi 'ㅏ'. Ini adalah puncak 'minimalisme' yang mengekspresikan dunia suara yang paling kompleks dengan elemen yang paling sederhana (titik, garis). Selain itu, pesan filosofis bahwa manusia (netral) mencapai harmoni antara langit (positif) dan bumi (negatif) menunjukkan bahwa Hangeul bukan sekadar alat fungsional, tetapi mengandung filosofi humanisme. Sistem vokal ini diterapkan langsung pada metode input perangkat digital modern (papan kekunci Cheonjiin), menjadi titik pertemuan antara filosofi 600 tahun lalu dan teknologi masa kini.
Petisyen Penentangan Choi Man-ri... "Apakah Anda Ingin Menjadi Barbar?"
Pada 20 Februari 1444, tujuh sarjana termasuk Choi Man-ri dari Jiphyeonjeon mengajukan petisyen penentangan terhadap Hunminjeongeum. Petisyen ini adalah dokumen sejarah yang menunjukkan pandangan dunia elit penguasa pada masa itu dan ketakutan mereka terhadap penciptaan Hangeul. Alasan penentangan mereka dapat diringkas menjadi tiga.
Pertama, alasan melayani China. Mereka berpendapat bahwa "menciptakan tulisan sendiri adalah perbuatan barbar dan akan menjadi bahan tertawaan negara besar (Dinasti Ming)". Bagi mereka, peradaban adalah menjadi bagian dari budaya hanja, dan keluar dari itu adalah kembali ke kebiadaban. Kedua, kekhawatiran akan kemunduran akademik. Mereka berpendapat bahwa "tulisan yang mudah dipelajari akan mengurangi minat pada studi yang sulit seperti Neo-Konfusianisme, sehingga mengurangi jumlah cendekiawan". Ketiga, risiko politik. Mereka berpendapat bahwa "bahkan jika tidak ada manfaat bagi politik, itu akan merugikan pendidikan warga".
Namun, yang sebenarnya mereka takuti adalah 'tulisan yang mudah' itu sendiri. Seperti yang dinyatakan oleh Jeong In-ji dalam kata pengantar, "orang bijak dapat memahaminya sebelum tengah hari, dan orang bodoh dapat mempelajarinya dalam sepuluh hari". Jika tulisan menjadi mudah, semua orang akan mengetahui hukum dan dapat mengekspresikan pemikiran mereka. Ini berarti 'informasi' dan 'kekuasaan penafsiran' yang dimonopoli oleh bangsawan akan runtuh. Petisyen Choi Man-ri bukan sekadar konservatisme, tetapi puncak dari logika pertahanan hak istimewa.
Serangan Balik Sejong: "Apakah Anda Tahu Tentang Unseo?"
Sejong biasanya menghormati pendapat para menteri dan dikenal sebagai raja diskusi, tetapi dalam masalah ini, dia tidak mundur. Dia menegur Choi Man-ri dan lainnya dengan bertanya, "Apakah Anda tahu tentang Unseo (fonologi)? Berapa banyak huruf dalam empat nada dan tujuh bunyi?" Ini menunjukkan bahwa Sejong merancang Hangeul bukan sebagai 'alat kemudahan', tetapi sebagai sistem ilmiah yang canggih berdasarkan prinsip fonologi.
Sejong menekan alasan 'melayani China' dari bangsawan dengan alasan yang lebih besar, yaitu 'cinta rakyat', dengan mengatakan "Apakah Idu dari Seol Chong tidak dimaksudkan untuk memudahkan rakyat? Saya juga ingin memudahkan rakyat". Dia memiliki tujuan politik yang jelas untuk memungkinkan rakyat menghindari hukuman yang tidak adil (penyebaran pengetahuan hukum) dan mengekspresikan kehendak mereka melalui Hangeul. Ini adalah salah satu perjuangan intelektual dan politik paling sengit dalam sejarah Dinasti Joseon.
Penindasan Yeonsangun dan Kelangsungan Hidup Tulisan
Setelah kematian Sejong, Hangeul mengalami cobaan yang berat. Terutama, tiran Yeonsangun takut akan 'kekuatan pengungkapan' yang dimiliki Hangeul. Pada tahun 1504, ketika surat anonim yang mengkritik perilaku buruk dan pelanggaran Yeonsangun ditulis dalam Hangeul dan ditempel di mana-mana, Yeonsangun marah. Dia segera mengeluarkan 'larangan penggunaan tulisan' yang belum pernah terjadi sebelumnya, memerintahkan agar "jangan mengajar atau belajar tulisan, dan mereka yang sudah belajar tidak boleh menggunakannya". Buku-buku Hangeul dikumpulkan dan dibakar (pemusnahan buku), dan orang-orang yang mengetahui Hangeul ditangkap dan disiksa. Sejak saat itu, Hangeul kehilangan statusnya sebagai tulisan resmi dan dihina sebagai 'tulisan kasar', 'tulisan wanita'.
Suara yang Hidup Kembali... Tulisan yang Dijaga oleh Rakyat
Namun, bahkan dengan pedang kekuasaan, tulisan yang sudah meresap ke lidah dan ujung jari rakyat tidak dapat dihapus. Wanita di dalam rumah menulis kehidupan dan kesedihan mereka dalam Hangeul melalui Naebang Gasa (puisi rumah tangga), dan komunitas Buddha menerjemahkan sutra ke dalam Hangeul (Eonhae) untuk menyebarkan ajaran kepada rakyat. Orang-orang biasa menangis dan tertawa membaca novel Hangeul, dan mengirim berita melalui surat. Bahkan di dalam istana, ratu dan putri saling bertukar surat dalam Hangeul secara diam-diam, dan raja seperti Seonjo dan Jeongjo juga sering menggunakan Hangeul dalam surat pribadi mereka.
Rakyat mengambil tulisan yang ditinggalkan oleh kekuasaan secara resmi. Ini membuktikan bahwa Hangeul bukan sekadar tulisan yang disampaikan dari atas (top-down), tetapi tulisan yang berakar dalam kehidupan rakyat dan memperoleh vitalitas dari bawah (bottom-up). Vitalitas yang gigih ini menjadi kekuatan pendorong untuk mengatasi cobaan yang lebih besar pada masa penjajahan Jepang.
Zaman Penjajahan Jepang, Kebijakan Pemusnahan Bangsa dan Chosun Eohakhoe
Pada tahun 1910, ketika Jepang merampas kedaulatan negara, mereka menindas bahasa dan tulisan kita sebagai bagian dari 'kebijakan pemusnahan bangsa'. Pada akhir 1930-an, mereka melarang penggunaan bahasa Korea di sekolah dan memaksa penggunaan bahasa Jepang (kebijakan penggunaan bahasa nasional), serta memaksa perubahan nama menjadi nama Jepang melalui Soshi Kaimei. Dalam krisis yang mengancam hilangnya jiwa bangsa ketika bahasa menghilang, 'Chosun Eohakhoe' dibentuk oleh murid-murid Ju Si-gyeong.
Tujuan mereka hanya satu, yaitu membuat 'kamus' bahasa kita. Membuat kamus berarti mengumpulkan bahasa kita yang tersebar, menetapkan standar, dan menyatakan kemerdekaan bahasa. Proyek besar yang dimulai pada tahun 1929 ini disebut 'Operasi Malmoi (mengumpulkan kata)'. Ini bukan pekerjaan beberapa cendekiawan. Chosun Eohakhoe menyeru kepada rakyat di seluruh negeri melalui majalah 〈Hangeul〉. "Kirimkan dialek desa Anda." Maka keajaiban terjadi. Orang-orang dari seluruh negeri, tua dan muda, pria dan wanita, mengirimkan dialek, kata asli, dan kata-kata daerah mereka ke Chosun Eohakhoe. Ribuan surat membanjiri. Ini bukan sekadar pengumpulan kosakata, tetapi gerakan kemerdekaan bahasa yang melibatkan seluruh bangsa.
Pengorbanan 33 Orang dan Keajaiban Gudang Stasiun Seoul
Namun, pengawasan Jepang sangat ketat. Pada tahun 1942, Jepang memanipulasi 'Insiden Chosun Eohakhoe' dengan memanfaatkan kalimat "dimarahi karena menggunakan bahasa nasional" yang ditemukan dalam buku harian seorang siswa di Sekolah Menengah Hamheung Yeongsaeng. Sebanyak 33 cendekiawan utama seperti Lee Geuk-ro, Choi Hyun-bae, dan Lee Hee-seung ditangkap dan disiksa dengan kejam. Guru Lee Yoon-jae dan Han Jing meninggal di penjara.
Yang lebih menyedihkan adalah kenyataan bahwa naskah 'Kamus Besar Bahasa Chosun' yang mereka kumpulkan dengan susah payah selama 13 tahun, sebanyak 26,500 lembar, disita sebagai barang bukti dan hilang. Meskipun Korea merdeka pada tahun 1945, tanpa naskah, kamus tidak dapat diterbitkan. Para cendekiawan merasa putus asa. Namun, pada 8 September 1945, sebuah keajaiban terjadi. Di sudut gudang Chosun Tongun di Stasiun Seoul, ditemukan tumpukan kertas yang ditinggalkan. Itu adalah naskah 'Kamus Besar Bahasa Chosun' yang hendak dimusnahkan oleh Jepang.
Tumpukan naskah yang terkubur dalam debu gudang gelap itu bukan sekadar kertas. Itu adalah darah para pahlawan yang berusaha melindungi bahasa kita meskipun disiksa, dan harapan rakyat yang kehilangan negara yang menulis satu per satu huruf. Tanpa penemuan dramatis ini, kita mungkin tidak dapat menikmati kosakata bahasa kita yang kaya dan indah seperti sekarang. Naskah ini kini ditetapkan sebagai harta karun Korea Selatan, menjadi saksi perjuangan sengit pada masa itu.

Tulisan yang Paling Akrab dengan AI... Algoritma Sejong
Pada abad ke-21, Hangeul berada di pusat revolusi lain. Yaitu era digital dan kecerdasan buatan (AI). Struktur Hangeul yang unik sangat sesuai dengan ilmu komputer modern. Hangeul memiliki struktur modular yang menggabungkan elemen (fonem) konsonan dan vokal untuk membentuk huruf (suku kata). Dengan menggabungkan 19 konsonan awal, 21 vokal tengah, dan 27 konsonan akhir, secara teori dapat mengekspresikan 11,172 suara yang berbeda. Ini memberikan keunggulan yang luar biasa dalam kecepatan input informasi dan efisiensi pemrosesan dibandingkan dengan hanja yang memerlukan input dan pengkodean ribuan karakter lengkap, atau bahasa Inggris yang memiliki sistem pengucapan yang tidak teratur.
Terutama dalam pemrosesan dan pembelajaran bahasa alami oleh AI generatif, struktur logis Hangeul memiliki keunggulan besar. Prinsip penciptaan yang teratur (piktogram + penambahan garis + penggunaan bersama) memudahkan AI untuk menganalisis pola bahasa, dan memungkinkan pembuatan kalimat yang alami dengan data yang relatif sedikit. Algoritma yang dirancang oleh Sejong dengan pena 600 tahun lalu kini berkembang kembali dalam semikonduktor dan server canggih. Hangeul bukan sekadar warisan masa lalu, tetapi 'protokol digital' yang paling efisien untuk masa depan.
Warisan Rekod Dunia yang Diakui Dunia... Aset Kemanusiaan
Pada tahun 1997, UNESCO menetapkan Hunminjeongeum sebagai 'Warisan Rekod Dunia'. Di seluruh dunia, terdapat ribuan bahasa dan puluhan tulisan, tetapi Hangeul adalah satu-satunya tulisan yang penciptanya (Sejong), waktu penciptaannya (1443), prinsip penciptaannya, dan panduan penggunaannya dijelaskan secara terperinci dalam buku panduan (Hunminjeongeum Haerye) yang masih ada dalam bentuk aslinya.
Ini mengakui bahwa Hangeul bukanlah tulisan yang berkembang secara alami, tetapi 'ciptaan intelektual' yang dirancang dan diciptakan dengan cermat berdasarkan kemampuan intelektual dan filosofi yang tinggi. Pemenang Hadiah Nobel Sastra, Pearl S. Buck, memuji Hangeul sebagai "tulisan yang paling sederhana dan paling hebat di dunia", dan menyebut Sejong sebagai "Leonardo da Vinci dari Korea". Nama penghargaan UNESCO yang diberikan kepada individu atau organisasi yang berkontribusi dalam pemberantasan buta huruf adalah 'Penghargaan Literasi Raja Sejong', bukan kebetulan.
Sejong menciptakan Hangeul bukan hanya untuk memungkinkan rakyat menulis surat dan belajar cara bertani. Itu adalah untuk mengembalikan 'suara' kepada rakyat. Agar mereka dapat berteriak jika merasa tidak adil, dan mencatat jika merasa tidak adil, untuk membebaskan mereka dari penjara keheningan.
Para pahlawan Chosun Eohakhoe yang mempertaruhkan nyawa mereka selama penjajahan Jepang, dan rakyat dari seluruh negeri yang mengumpulkan dialek dalam surat-surat yang kusut, juga melakukan hal yang sama. Itu bukan sekadar membuat kamus. Itu adalah perjuangan sengit untuk melindungi 'jiwa' dan 'roh' bangsa yang tercekik oleh bahasa kekaisaran Jepang. Hari ini, kita dapat dengan bebas mengirim pesan melalui ponsel pintar dan meninggalkan pendapat kita di internet berkat darah dan keringat orang-orang yang berjuang melawan kekuasaan dan bertahan dari penindasan selama 600 tahun.
Hangeul bukan sekadar tulisan. Itu adalah catatan cinta yang dimulai dengan "mengasihani rakyat", dan prototipe demokrasi yang bertujuan untuk membuat semua orang mudah mempelajarinya dan menjadi tuan dunia. Namun, apakah kita menikmati warisan besar ini dengan terlalu mudah? Di masyarakat modern, masih ada keheningan dari mereka yang terpinggirkan. Pekerja migran, orang kurang upaya, dan golongan miskin di masyarakat Korea... Apakah suara mereka benar-benar sampai ke pusat masyarakat kita?
Dunia yang diimpikan oleh Sejong adalah dunia di mana semua rakyat dapat mengekspresikan kehendak mereka (Shin). Ketika kita tidak hanya bangga dengan Hangeul, tetapi juga mencatat dan mewakili 'suara yang hilang (suara mereka yang kehilangan suara)' dari zaman ini dengan tulisan ini, barulah semangat penciptaan Hunminjeongeum akan sempurna. Sejarah bukan hanya milik mereka yang mencatat, tetapi milik mereka yang mengingat, bertindak, dan bersuara.

